ADS

10 Mitos Entrepreneurship Yang Tidak Selalu Benar




Hai sahabat BL semua, hari ini mau sharing satu artikel menarik dari salah satu entrepreneur top Indonesia yaitu Ir. Ciputra. Yuk disimak langsung.
.
Selama bertahun-tahun saya mencoba merenung perihal semua pengalaman saya dalam dunia entrepreneurship, saya pun menemukan beberapa mitos yang berkembang. Salah satu yang paling banyak saya temui ialah bahwa masih banyak orang Indonesia yang menganggap entrepreneurship merupakan sebuah talenta genetis, bukan sebuah bidang ilmu pengetahuan yang ilmiah dan bisa dipelajari. Berkali-kali saya serukan bahwa itu kurang benar. Semua orang, tanpa memandang suku, agama, ras, status sosial, bisa mempelajari entrepreneurship. Tinggal tekad, kemauan dan kerja kerasnya tinggi atau tidak.

Itu hanya satu mitos saja. Tetapi ketika saya membaca paparan Donald F. Kuratko mengenai mitos-mitos entrepreneurship, saya menyadari bahwa mitos lain juga banyak berkembang. Tak hanya di negara kita saja, tetapi mitos-mitos ini juga bisa dijumpai di banyak negara.

Mitos 1: Entrepreneur bertumpu pada tindakan bukan pikiran
Entrepreneur memang menekankan eksekusi, pelaksanaan, tindakan nyata. Akan tetapi saya juga sadari bahwa dibutuhkan sebuah pemikiran mendalam sebelum seorang entrepreneur bertindak. Entrepreneur idealnya bisa menyeimbangkan antara dua aspek ini: tindakan dan pikiran.

Mitos 2: Entrepreneurship ialah talenta yang tak bisa dipelajari
Seperti yang pernah diungkapkan Peter F. Drucker, saya juga yakin bahwa entrepreneurship merupakan disiplin ilmu yang bisa dipelajari dan diterapkan semua orang di muka bumi. Memang ada sifat-sifat tertentu yang bisa ditemukan dalam kepribadian para entrepreneur sukses, namun entrepreneurship juga mempunyai model, proses, dan studi perkara yang semuanya bisa ditelaah secara ilmiah dan dipelajari.

Mitos 3: Entrepreneur juga penemu
Tidak selalu benar. Entrepreneur tak selalu harus menemukan atau merancang produk baru. Meskipun banyak penemu juga seorang entrepreneur, tapi pada kenyataannya banyak entrepreneur mempunyai banyak bidang yang mereka geluti.Yang paling penting ialah bahwa entrepreneurship mesti dipahami sebagai sebuah pemahaman menyeluruh mengenai sikap inovatif dalam segala bentuk dan macamnya.

Mitos 4: Entrepreneur yakni mereka yang terasing dalam masyarakat dan sekolah
Asumsi bahwa entrepreneur ialah mereka yang tidak sesuai dengan lingkungan sosial dan akademis dilatarbelakangi oleh banyak ditemuinya pemilik bisnis yang melejit sehabis ia tinggalkan dingklik pendidikan atau dianggap eksentrik oleh orang-orang di sekitarnya. Ini tidak sepenuhnya benar sebab ini bisa terjadi sebab iklim dan spirit sekolah-sekolah kita masih belum siap mengenali bakat-bakat entrepreneurship dalam diri belum dewasa didiknya. Entrepreneur juga masih perlu pendidikan, baik formal dan informal, sebab tantangan dalam bisnis terus berkembang. Pendidikan sepanjang hayat bagi entrepreneur yakni kewajiban jikalau tak ingin tergulung persaingan.

Mitos 5: Entrepreneur harus sesuai persyaratan
Mungkin Anda sudah banyak temukan banyak bacaan yang memuat karakteristik entrepreneur sukses. Saat Anda ingin menjadi entrepreneur sukses, Anda pun menimbulkan daftar ini sebagai contoh ,dan ketika Anda merasa tidak memenuhi sebagian syarat-syarat itu, Anda merasa gentar dan mengurungkan niat terjun berbisnis. Saya himbau jangan jadikan itu semacam patokan wajib, anggap saja sebuah panduan yang fleksibel. Bagaimanapun juga tak satu pihak pun bisa memilih apakah seseorang akan menjadi entrepreneur sukses atau tidak di masa depan. Anda sendiri yang bisa menjawabnya. Jika memang Anda lemah dalam beberapa aspek, jalinlah kerjasam dengan mereka yang mempunyai kelebihan dalam aspek yang menjadi kelemahan Anda. Tak perlu menunggu menjadi tepat untuk bisa merintis usaha.

Mitos 6: Uang mutlak dibutuhkan dalam membangun bisnis
Benar bahwa setiap bisnis perlu uang untuk berjalan. Tetapi ketika Anda menganggap ada tidaknya uang sebagai satu-satunya faktor penentu kesuksesan, maka Anda harus mengubah pola pikir itu. Kita memang banyak temui perusahaan gulung tikar secara finansial sebab tak ada dana tetapi kita lupa bahwa sesungguhnya problem keuangan yang muncul itu hanya indikator paling gampang dirasakan dari memburuknya aspek-aspek lain dalam bisnis yang kita miliki. Perencanaan yang buruk, kemampuan administrasi yang acak-acakan, komunikasi yang kurang, bisa jadi yakni akar problem sebenarnya. Maka dari itu, jadikan kekayaan yang kita miliki sebagai sebuah alat bukan tujuan akhir.

Mitos 7: Entrepreneur mutlak perlu keberuntungan
Menemukan peluang yang tepat di ketika yang tepat menjadi idaman bagi banyak entrepreneur. Sayangnya, banyak entrepreneur menganggap keberuntungan hanya sebuah kebetulan, minus kerja keras. Kenyataannya, keberuntungan juga merupakan sesuatu yang harus dibangun. Ia tak tiba begitu saja menghampiri orang. Keberuntungan perlu dibangun dengan cara membangun kesiapan diri sebelum peluang emas mendatangi Anda.

Mitos 8: Entrepreneurship tak mempunyai tatanan
Saya menemui banyak entrepreneur muda yang terlihat mempunyai kepribadian periang dan penuh passion dalam menjalankan perjuangan mereka. Sekilas tak nampak kemampuan untuk mengatur. Padahal bergotong-royong mereka mempunyai sistemnya sendiri, dan sistem ini sering tidak bisa dipahami orang lain. Entrepreneur bukan sosok penuh kecerobohan yang asal menggarap peluang bisnis tertentu, mereka mempunyai sistem berpikir yang unik, dan tak banyak dipahami orang kebanyakan.

Mitos 9: Mayoritas perjuangan gres niscaya gagal
Banyak entrepreneur terjungkal sebelum mengecap keberhasilan. Kegagalan ini memang lazim dialami tetapi bukan itu yang paling penting. Hal terpenting dari kegagalan ialah bagaimana kita bisa mengambil pelajaran di baliknya. Saat entrepreneur bisa mempelajari dan menerapkan pelajaran itu dalam langkahnya yang berikut, maka ia pun makin bersahabat dengan keberhasilan. Anggap saja sebagai proses yang harus dilalui dan dinikmati semoga diri kita menjadi sosok pribadi yang pantas untuk menikmati sukses.

Mitos 10: Entrepreneur ambil risiko gres berpikir
Konsep risiko harus dipahami sebagai risiko yang sudah diukur sebelumnya. Diperlukan pengamatan, kalkulasi dan penelitian untuk mengukur risiko yang akan diambil. Inilah yang kurang dipahami banyak orang.
.
.

Subscribe to receive free email updates:

ADS